Harta Nusantara di Tanah Belanda
Institut Tropen Kerajaan dan Museum Tropen tengah mengalami perguncangan dalam bidang penganggaran. Hal ini menyebabkan perpustakaan Tropen resmi ditutup pada 31 Agustus 2013. Ribuan buku koleksi perpustakaan Tropen, pun dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat Belanda akhir tahun lalu.
Pendanaan terhadap Institut Tropen mengalami krisis sejak akhir tahun 2011, ketika Kementerian Luar Negeri memutuskan menghentikan subsidi tahunan sebesar 20 juta euro mulai 1 Januari 2013. Menghadapi hal ini, Institut Tropen mengambil langkah untuk menggabungkan Museum Tropen dengan Museum Nasional Etnologi di Leiden dan Museum Afrika di Bergen Dal. Langkah tersebut salah satunya berdampak kepada lembaga pendidikan mancanegara yang bekerja sama dengan Institut Tropen. Seperti Fakultas Ilmu Budaya UGM yang mengakhiri kerja sama tahun ini.
Masyarakat Belanda yang mengetahui tentang rencana penutupan Museum Tropen, pun tidak tinggal diam. Masyarakat banyak melakukan protes dan petisi, seperti pawai maraton dari Rotterdam ke Den Hag pada 24-27 Juni 2011. Anak-anak usia 6-11 tahun, pun berunjuk rasa di depan gedung konser Amsterdam, Concertgebow 22 Oktober 2011. Dan petisi yang paling berpengaruh adalah petisi online pada 19 Juni 2013 yang menargetkan 40 ribu tanda tangan. Yang mana Tweede Kamer (Dewan Perwakilan Rakyat) memutuskan tetap memberikan subsidi kepada Museum Tropen sampai 2016.
Museum Tropen sendiri menyimpan banyak koleksi peninggalan milik Indonesia. Seperti arca Sri Bharata Anusapati, raja kedua Kerajaan Singosari. Keris yang awalnya milik Paku Alam V tak ketinggalan menjadi salah satu koleksi di Museum Tropen. Belum lagi koleksi tentang Papua, Simbol, Kebudayaan Tua, Ide Baru, Identitas, Tekstil, Rempah-Rempah dan Perdaganan. Namun tampaknya, Museum Tropen tidak akan pernah mengembalikan koleksinya ke Indonesia.
Sebanyak 13 ribu buku koleksi Institut Tropen telah dihibahkan kepada Indonesia dalam bentuk surat resmi pertengahan Desember lalu. Buku-buku ini dikirim ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia sendiri hanya perlu membiayai pengepakan dan pengiriman. Buku-buku tersebut berkaitan dengan masalah pembangunan sumber daya manusia, seperti politik dan keadilan hukum, pertanian, kebudayaan, transportasi dan pengelolaan air. Namun, tak ada tempat yang cukup di KBRI untuk buku-buku yang tiba akhir Januari ini. Bahkan, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harry Widianto mengaku baru mengetahui informasi ini.
Komentar
Posting Komentar